NKRI dan 66 Tahun Resolusi Jihad NU
Oleh Achmad Munif Arpas
Sejarah besar ketelaladan Nabi
Muhammad SAW dalam membina kehidupan beragama penuh damai di Madinah, ternyata
sering dilupakan, bahkan tidak dipahami oleh sebagian besar umat Islam sendiri.
Karena itu, mereka ini memiliki kecenderungan gambaran kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara yang terdiri hanya satu golongan dan satu agama. Mereka
ini tidak mengenal kebebasan beragama, kemajemukan, pluralism, toleransi,
kerjasama, kebebasan berpendapat, saling membantu sama lain dalam mewujudkan
cita-cita suatu bangsa bernama Indonesia, yang Bhinneka Tunggal Ika ini.
Padahal, fakta sejarah sudah
membuktikan bahwa sebagai Nabi dan Rasul, kedatangan Muhammad SAW
disambut dengan suka-cita oleh seluruh penduduk Yathrib atau Madinah yang
terdiri dari berbagai suku, agama, ras dan golongan itu. Masyarakat Madinah
berbondong-bondong menyambut datangnya pemimpin besar umat Islam tersebut.
Kenapa? Sebelum hijrah dari Makkah, Nabi Muhammad SAW sudah bertemu dengan para
pemimpin kaum Yahudi, Nasrani, Qabilah-qobilah Arab, penyembah berhala dan kaum
atheis lain untuk menghindari perang. Nabi lebih memilih hidup berdampingan
secara damai, menjaga keamanan bersama-sama, membangun perekonomian dan melawan
siapapun yang melakukan kedzaliman dan kejahatan terhadap kemansuiaan.
Itulah antara lain salah satu bagian
terpenting dari 48 poin perjanjian Nabi dengan penduduk Yathrib yang terdiri
dari berbagai suku bangsa dan agama tersebut. Perjanjian ini kemudian disebut
pula sebagai ‘Konstitusi Madinah, bukan Konstitusi Islam. Sebuah aturan dan
perjanjian yang kali pertama ada di dunia. Karena itu, kehidupan beragama di
Madinah disebut juga sebagai puncak peradaban dunia Islam, yang sebelumnya tidak
pernah terjadi khususnya antara Islam dengan non Islam.
Perjanjian yang sama pernah
dilakukan oleh Nabi, secara khusus dengan kaum Nasrani di Yerussalem atau
Baitul Maqdis (Al-Quds). Ketika kota suci itu dibebaskan oleh umat Islam dan
isinya sejalan dengan Piagam Madinah. Yaitu Nabi Muhammad merupakan pelindung
mereka dari setiap permusuhan terhadap mereka. Kata Muhammad,”Setiap jiwaku,
para pendukungku, para pemeluk agamaku dan para pengikutku adalah sebagaimana
mereka (kaum Nasrani) itu adalah rakyatku dan anggota perlindunganku.”
Al-Quran pun sudah mengingatkan akan
kehidupan yang beragam, majemuk dan plural ini adalah sebagai suatu
keniscayaan yang tak terbantahkan. Sebagaimana dalam surat Al-Hujurat: 13,”Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu seorang lelaki dan perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah SWT
adalah yang paling bertakwa...” Adalah orang yang taat menjalankan perintah
agamanya dan menjauhi serta mencegah larangan agamanya. Yaitu orang yang
beramal saleh, banyak melakukan kebaikan dan kemaslahatan untuk kepentingan
masyarakat, bangsa dan Negara ini, dan bukan merusaknya.
Dengan demikian, sungguh aneh jika dalam keindonesiaan saat ini masih terdapat sekelompok masyarakat muslim mempunyai pandangan dan keyakinan berbeda dengan keyakinan agamanya.Di mana orang yang mempunyai keyakinan agama berbeda dianggap salah, sesat dan kafir. Oleh sebab itu, halal darahnya dan harus diperangi. Memerangi kelompok kafir ini adalah wajib dan dianggap sebagai jihad di jalan Allah dengan jaminan masuk surga, memdapatkan hadiah bidadari dan kenikmatan lainnya di akhirat. Keyakinan yang sesat itulah yang kemudian menumbuh-suburkan keberagamaan yang radikal, fundamentalis dan menjadikan mereka ini sebagai teroris.
Dengan demikian, sungguh aneh jika dalam keindonesiaan saat ini masih terdapat sekelompok masyarakat muslim mempunyai pandangan dan keyakinan berbeda dengan keyakinan agamanya.Di mana orang yang mempunyai keyakinan agama berbeda dianggap salah, sesat dan kafir. Oleh sebab itu, halal darahnya dan harus diperangi. Memerangi kelompok kafir ini adalah wajib dan dianggap sebagai jihad di jalan Allah dengan jaminan masuk surga, memdapatkan hadiah bidadari dan kenikmatan lainnya di akhirat. Keyakinan yang sesat itulah yang kemudian menumbuh-suburkan keberagamaan yang radikal, fundamentalis dan menjadikan mereka ini sebagai teroris.
Bukankah Allah SWT sudah menegaskan
bahwa pembunuhan tanpa alas an yang benar, adalah dosanya sangat besar?
Al-Quran Al-Maidah: 32: “Barangsiapa membunuh manusia bukan karena membunuh
orang lain (haq) atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi ini, maka
dosanya seakan-akan dia telah membunuh seluruh umat manusia dan barangsiapa
memelihara kehidupan seorang manusia, maka pahalanya seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia seluruhnya.” Ayat ini mempertegas bahwa Islam
itu sangat menghargai setiap jiwa dan nyawa manusia. Sehingga Islam adalah
agama yang mengagungkan kemanusiaan atau al-Basyariyah, al-Insaniyah.
Berangkat dari pemikiran keagamaan
di atas, maka menjadi kewajiban bersama bagi seluruh bangsa ini untuk
memelihara kerukunan, kedamaian, toleransi, pluralism, dan kelangsungan
bernegara untuk terwujudnya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh anak
bangsa. Karena itu wajib pula memerangi siapapun yang coba melakukan
penjajahan, kezdaliman, penindasan dan ketidakadilan terhadap anak bangsa ini.
Oleh sebab itu para ulama Nahdlatul Ulama (NU) menyebut bahwa mencintai dan
membela tanah air itu sebagai bagian dari iman (hubbul wathon minal
iman). Tanpa melihat siapa saja yang menjadi warga Negara: Islam, Kristen,
Budha, Hindu, Konghucu dan kepercayaan lainnya, maka hukumnya wajib membela dan
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini.
Komitmen akan kewajiban
mempertahankan NKRI yang Bhinneka Tunggal Ika dan berdasarkan Pancasila ini
bagi NU tidak akan pernah pupus dan akan terus diperjuangkan sampai titik darah
penghabisan. Dari muktamar ke muktamar sejak berdirinya pada 1926, komitmen itu
terus dijadikan landasan dalam berbangsa dan bernegara. Bahkan dalam
Muktamar NU ke 32 di Makassar 2010 komitmen itu dipertegas kembali: Bahwa
fungsi imamah atau kenegaraan dalam pandangan politik Ahlussunnah wal Jamaah
(Aswaja) sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam
As-Shulthoniyah, ”al-Imamah mawdhu’atun likhilafatin nubuwwah fi
haratsatiddin wasiyasatiddunnya…bahwa pemimpin itu adalah untuk menjaga
agama (harasatud din) dan mengatur dunia (siyasatud dunya).
Dengan demikian, maka Negara dan
pemerintah wajib memelihara kelangsungan kehidupan beragama dan segala sesuatu
yang terkait dengan kehidupan dunia. Seperti kelangsungan dan pembangunan rumah
ibadah, sosial politik, ekonomi, penegakan hukum, kesejahteraan, pendidikan,
kesehatan, ketentraman, kedamaian, keamanan Negara dan sebagainya.
Dengan dasar pemikiran keagamaan dan
kenegaraan tersebut, ketika Indonesia dalam ancaman penjajahan Inggris, maka
ulama NU melakukan ijtihad politik dengan mengeluarkan ‘Resolusi Jihad’ pada 66
tahun silam tepatnya pada 22 Oktober 1945 yang dipimpin oleh KH Hasyim Asy’ari.
Dengan maklumat bahwa wajib bagi umat Islam untuk memerangi penjajahan yang
dilakukan tentara Inggris atau Netherlands Indies Civil Administration (NICA)
yang mendarat di Surabaya ketika itu. Para kiai NU kemudian membentuk barisan
Sabilillah yang dipimpin oleh KH Masykur, barisan Hisbullah dipimpin oleh H
Zainul Arifin dan kiai sepuh di barisan Mujahidin yang dipimpin langsung oleh
KH Wahab Hasbullah.
Ketika itu, pergerakan tentara
Inggeis tidak dapat dibendung. Tentara Inggris sudah menduduki Medan, Padang,
Palembang, Bandung, dan Semarang melalui pertempuran-pertempuran sengit yang
dibantu tentara Jepang, yang kalah perang, sebagai konsekuensi dari peralihan
kekuasaan. Sedangkan kota-kota besar di kawasan Timur Indonesia telah diduduki
oleh Australia. Namun, berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, melalui Resolusi
Jihad NU itu pada 10 November 1945, arek-arek Suroboyo memenangkan pertempuran
sampai tentara Inggris dan Australia keluar dari Indonesia. Ini salah satu
bentuk konkret komitmen NU dalam mengawal dan mempertahankan NKRI. Namun, fakta
ini sering dilupakan sejarawan Indonesia.
Pancasila
Memang kelangsungan sejarah bangsa
ini tak selamanya akan berjalan sebagaimana sejarah berdirinya (founding
fathers), yaitu sebagai Negara bangsa yang Bhinneka Tunggal Ika,
berdasarkan Pancasila, NKRI dan berpegang teguh kepada UUD NRI 1945.
Karena pelaku sejarah dan pemerintahan Negara ini berjalan secara bergantian
dari masa ke masa, orde ke orde: Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.
Bersamaan dengan itu juga selalu
akan lahir dan muncul generasi dengan pemahaman agama, ideology kebangsaan dan
kenegaraan yang berbeda pula. Jadi, wajar jika kemudian muncul keinginan suatu
Negara berdasarkan satu keyakinan agama, karena mereka ini tidak mendapatkan
pengetahuan, wawasan dan tidak memahami pergumulan sejarah bangsa Indonesia
dengan baik. Sehingga masih ada yang bermimpi memiliki ideology Negara
berdasarkan hukum Islam bahkan akan menjadikan Negara ‘Islam’ dan tentu mengabaikan
Pancasila.
Karena itu pemerintahan Orde Baru
sangat khawatir akan ancaman tersebut, sehingga harus melakukan sosialisasi
terus-menerus terhadap Pancasila atau penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila). Bahkan organisasi kemasyarakatan Islam terbesar NU pun
meski KH Abdul Wahid Hasyim terlibat dalam perumusan Pancasila itu bersama Bung
Karno, Hatta dll, tetap saja diminta secara resmi untuk mengakui Pancasila
sebagai satu-satunya asas. Akhirnya, para kiai NU pada Muktamar NU ke 27 di Situbondo,
Jawa Timur 1984, yang dipelopori oleh Rais Aam PBNU KH Ahmad Shiddiq dan Ketua
Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menerima Pancasila sebagai
satu-satunya asas dimaksud.
Penerimaan NU terhadap Pancasila
sebagai satu-satunya asas itu pada prinsipnya, karena prinsip-prinsip dan
nilai-nilai Pancasila itu tidak bertentangan dengan ajaran agama. Baik secara
tauhid, ketuhanan maupun sosial amaliahnya. Ada dua penegasan Gus Dur dalam
perumusan itu, yaitu “Tanpa Pancasila, negara tidak akan pernah ada
dan Pancasila adalah serangkaian prinsip-prinsip yang bersifat abadi.
Sehingga Pancasila membuat ide yang baik tentang hidup bernegara yang mutlak
harus diperjuangkan.”
Demikian pula KH Ahmad Shiddiq yang
membuat kesimpulan: bahwa mendirikan dan membentuk kepemimpinan negara untuk
memelihara keluhuran agama dan mengatur kesejahteraan kehidupan duniawi wajib
dan sah hukumnya dan itu mengikat semua pihak, termasuk ummat Islam. Karena itu
Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD NRI 1945 dan NKRI wajib dipertahankan dan
dilestarikan eksistensinya.
Persoalannya sekarang adalah apakah
komitmen terhadap pengamalan Pancasila sudah terwujud? Jika penyelenggara
Negara dan tokoh bangsa ini mengakui bahwa pengamalan Pancasila itu belum
bahkan tidak terwujud, utamanya menyangkut keadilan, penagakan hukum,
kesejahteraan, kemanusiaan, ekonomi kerakyatan dan sosial politik yang lain,
maka tidak salah jika anak bangsa ini melupakan Pancasila. Sedihnya lagi, kini
banyak anak-anak sekolah tidak hafal sila-sila Pancasila, sehingga Pancasila
itu bisa disebut tidak sakti lagi.
Selama dekade terakhir ini, kita
hanya sibuk dengan berbagai seremony dan berbagai kegiatan Negara yang
sesungguhnya makin menjauhkan dari nilai-nilai Pancasila tersebut. Misalnya
gaya hidup mewah di tengah maraknya korupsi di mana-mana, ketidakadilan dan
kedzaliman serta kemaksiatan di mana-mana, hukum hanya berlaku bagi rakyat
kecil, pendidikan dan kesehatan makin mahal dan tidak terjangkau oleh rakyat,
dan lain-lain yang tidak sejalan dengan Pancasila. Maka, sudah waktunya untuk
interospeksi diri untuk melaksanakan Pancasila dengan benar dan
bertanggungjawab.
Sejauh itu, selain dengan pengamalan konkret
akan prinsip-prinsip Pancasila, sosialisasi 4 Pilar bangsa yang sudah berjalan
saat ini, juga dibutuhkan peningkatan wawasan keagamaan yang benar, baik, utuh
dan komprehensif agar mampu meminimalisir gerakan radikalisme, fundamentalisme
dan terorisme yang terus mengancam eksistensi NKRI ini
0 komentar: